Tegalsari, kisah kelam di masa lalu

Siapa tak kenal dengan Tegal? Bagi masyarakat Jawa Tengah khususnya daerah pantai utara pasti tidak asing dengan kota yang satu ini. Kota kecil yang berbatasan dengan Brebes di sebelah barat dan Pemalang di sebelah timur memang menarik untuk kita bahas.
Selain terkenal dengan kulinernya seperti tahu aci, nasi ponggol, soto tauco, Kota Tegal juga memiliki beberapa cerita rakyat yang menarik. Salah satu di antaranya adalah Tegalsari. 
Tegalsari merupakan sebuah kelurahan yang berada di wilayah kecamatan Tegal Barat. Di sebelah barat berbatasan dengan Muarareja. Di antara keduanya dipisahkan oleh kali Sibelis.
Kali Sibelis bermuara di pesisir utara. Arusnya deras menggelontorkan air payau berwarna kehijauan ke muaranya di laut Jawa. Di tanggulnya yang tebal berjejer pohon turi di kanan kiri tampak rapi. Rerumputan dan perdu serta semak belukar tumbuh seperti permadani hijau. Sejak dulu kala alam telah menata kawasan ini menjadi indah.
Tegalsari dan Muarareja merupakan dua desa yang menjadi tetenger sebagai kawasan pesisir yang wingit dan menyemburat aroma mistis yang gaib. Masyarakat di dua desa ini layaknya terbuai oleh suasana mistis desanya.
Selain terkenal dengan aura mistis, wilayah Tegalsari, Muarareja dan khususnya kawasan pantura barat dahulu terkenal sebagai sarang brandal, pencuri, perampok, tukang copet, kecu (tukang judi). Keadaan seperti sebelum kehadiran Sunan Panggung.
Sunan Panggung, Sayyid Abdurrahman atau Mbah Panggung (orang Tegal memanggilnya) merupakan salah satu ulama kharismatik di Kota Tegal yang makamnya berada di Kelurahan Panggung. Mbah Panggung mendirikan pondok di Panggung untuk mendidik akhlak masyarakat Kota Tegal saat itu.
Selain Mbah Panggung, tokoh yang mengikuti jejaknya mendirikan pondok adalah Gento Sulam atau Mbah Mintaragen.
Gento Sulam, sesuai namanya jelas menunjukkan dirinya pernah menjadi maling, perampok, dan sebangsanya. Jelas pernah berkecimpung dan berasal dari dunia kelam yang hitam dan penuh noda. Itu zaman dahulu.
Kini, Gento Sulam adalah pria yang telah mengikuti jejak Mbah Panggung, membuka dan mengelola pondok, tempat ibadah, dan belajar keimanan agama Islam dan dikenal dengan Mbah Mintaragen.
Gento Sulam yang hidup di sekitar kali Sibelis suatu ketika duduk termenung di atas tanggul bagian timur kali Sibelis. Dia merenung sebentar karena semalam baru saja mengalami peristiwa luar biasa. Dia menerima bisikan melalui ajian pameling dari Suroloyo, anak menantunya. Suroloyo adalah suami Sudarmi, anak perempuan semata wayangnya.
Suroloyo yang juga seorang brandal alias maling baru saja tertangkap basah prajurit Kadipaten Pemalang karena mencuri kursi berhias gading milik adipati Pemalang, Suradidalbo yang malam itu sedang menghadap raja Mataram. 
Noyosari (lurah Tanjungsari) yang malam itu mendapat tugas menjaga kadipaten Pemalang, memenjarakan Suroloyo. Suroloyo menjadi pesakitan di penjara Pemalang.
Setelah sekian lama termenung di atas tanggul kali Sibelis, Gento Sulam bergegas pulang. Di depan rumahnya, Sudarmi sudah menungguinya. Gento Sulam menyilakan anaknya tersebut untuk masuk dan duduk di kursi yang tersedia.
Beliau sudah menduga maksud kedatangan putri semata wayangnya tersebut. Sudarmi meminta ayahnya untuk membebaskan suaminya, Suroloyo. Sudarmi menduga bahwa suaminya akan mendapatkan hukuman mati. Dia sangat mengkhawatirkan keadaan suaminya.
Bagi Gento Sulam, permintaan putrinya tersebut sangat berat. Karena bagaimana pun beliau sudah bertaubat dan tidak akan kembali lagi ke dunia keras. Sedangkan menantunya tersebut memang layak untuk menerima hukuman atas perbuatannya.
Akan tetapi, Sudarmi tetap memaksa ayahnya tersebut untuk membebaskan suaminya. Bahkan Sudarmi mengancam akan berangkat sendiri ke Pemalang jika permintaannya tidak terpenuhi.
Akhirnya dengan terpaksa Gento Sulam berangkat ke Pemalang dengan misi membebaskan anak mantunya. Ketika sampai di perbatasan Tegal-Pemalang, Gento Sulam terdiam dan berpikir lebih dalam apakah akan melanjutkan perjalanannya atau kembali ke Tegalsari. 
Sebuah pilihan yang sangat berat. Dengan berbagai pertimbangan, Gento Sulam bergegas kembali ke Tegal.
Dari jalur pantura, langkah Gento Sulam kembali ke utara, melewati tanggul kali Sibelis dengan harapan bersua dengan sahabat lamanya yang bisa membantu mengurai permasalahan yang melilit kepalanya.
Gento Sulam menemui Barja Gewo, lelaki kekar yang dulu pernah menjadi teman dalam kawanan perampok. Gento Sulam mengerti bahwa Barja Gewo belum sepenuhnya menghayati untuk mencapai kesejatian hidup seperti dirinya.
Gento Sulam bercerita panjang lebar ihwal permasalahan yang tengah menderanya. Gento Sulam meminta Barja Gewo melakukan aji panglimunan untuk membebaskan menantunya. Barja Gewo memenuhi permintaan sahabat lamanya tersebut. Dan akhirnya Suroloyo dapat bebas dari penjara di Pemalang tanpa ada yang tahu.
Sudarmi sangat berbahagia ketika mengetahui suaminya sudah terbebas dsri penjara. Dia dan suaminya bergegas sowan ke kediaman bapaknya. Gento Sulam menjelaskan bahwa bukan dia yang membebaskan Suroloyo. Barja Gewo lah yang berhasil membebaskan Suroloyo. Gento Sulam menasihati Suroloyo agar menghentikan pekerjaannya sebagai perampok dan segera bertaubat serta bisa mengikuti jejaknya. Suroloyo pun mengiyakan nasihat mertuanya.
Namun sebagai konsekuensi pembebasannya dan agar tidak timbul kecurigaan pihak Kadipaten Pemalang, Suroloyo harus pindah dari Tegalsari dan berpisah sementara dari istrinya. 
Gento Sulam mengirim Suroloyo ke Kalisapu, sebuah desa di wilayah Slawi Kabupaten Tegal dan tinggal di alam gaib. Sementara Sudarmi pindah ke Muaratua. Gento Sulam berjanji akan mengembalikan dan mengumpulkan mereka berdua ke Tegalsari jika suasana sudah tenang dan kondusif. Mereka harus memajukan Tegalsari agar menjadi desa yang makmur dan terbebas dari perampokan dan pencurian.
Kini setelah berabad-abad yang lalu, Tegalsari telah berubah menjadi kelurahan yang makmur dan sudah terbebas dari perampokan, pencurian, brandal ataupun kecu. Meskipun ada sebagian masyarakat Tegalsari yang masih percaya dengan hal-hal yang berbau mistis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koordinasi persiapan Resuffle Pengurus KKG PAI SD Kota Tegal

Menumbuhkan Budaya Literasi di Bulan Ramadan melalui Akram

Muflihul Huda resmi menjadi ketua KKG PAI Kota Tegal